Gerbang Kereta Api Tua: Kisah Arwah Korban yang Menanti

Gerbang kereta api tua yang berkarat di malam hari diselimuti kabut tebal, memberikan kesan angker dan misterius.


Gerbang kereta api tua itu berdiri kokoh, berkarat dimakan waktu, dan tak lagi berfungsi. Rel-rel di bawahnya tertutup lumut, jalur yang dulunya ramai kini sunyi senyap, hanya dilalui semak belukar dan ilalang. Penduduk desa percaya, gerbang itu bukan sekadar saksi bisu kecelakaan maut puluhan tahun silam, melainkan penanda sebuah portal. Sebuah portal yang menghubungkan dunia kita dengan mereka yang tak pernah benar-benar pergi.

Namaku Bima, seorang fotografer amatir yang terobsesi dengan tempat-tempat angker. Aku mendengar desas-desus tentang gerbang kereta api tua ini dari seorang kenalan. Konon, setiap malam Jumat Kliwon, terdengar suara peluit kereta yang melengking, diikuti dengan lolongan pilu dan penampakan arwah-arwah yang gentayangan. Tentu saja, aku tidak percaya. Ini hanyalah cerita rakyat yang dibesar-besarkan, pikirku.

Pada suatu malam Jumat Kliwon, dengan kamera dan nyali seadanya, aku memutuskan untuk mengunjungi gerbang itu. Udara dingin menggigit, langit gelap tanpa bintang. Kabut tipis mulai menyelimuti, menambah kesan misterius pada lanskap yang sudah menyeramkan. Aku menyalakan senter, menyorot ke arah gerbang yang menjulang tinggi. Warnanya hitam pekat, seperti bayangan raksasa yang siap menelan apa pun di depannya.

Saat aku semakin dekat, aku merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, jauh lebih dingin dari suhu malam itu. Bau anyir darah samar-samar tercium, membuat perutku mual. Aku mengabaikannya, mungkin ada bangkai hewan di sekitar sini, batinku.

Namun, saat senterku menyorot ke salah satu tiang gerbang, aku melihat coretan-coretan usang. Coretan itu adalah nama-nama, disertai dengan tanggal kematian. Semua tanggal itu sama, puluhan tahun yang lalu. Nama-nama korban kecelakaan. Jantungku berdebar kencang.

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara peluit kereta api. Aku terkesiap. Suara itu begitu nyata, seolah ada kereta yang melaju kencang ke arahku. Aku menoleh ke arah rel, tapi tidak ada apa-apa selain kegelapan.

Lalu, terdengar suara langkah kaki. Bukan satu, tapi banyak. Langkah-langkah itu terasa berat, seperti orang-orang yang menyeret kaki. Aku menahan napas. Dari balik kabut, mulai muncul siluet-siluet samar. Mereka adalah orang-orang. Pria, wanita, dan anak-anak. Pakaian mereka compang-camping, wajah mereka pucat pasi dengan mata kosong.

Mereka berjalan perlahan di atas rel, melewati gerbang kereta api itu. Ada yang kepalanya terpenggal, ada yang badannya terbelah, ada yang tangannya hilang. Darah kering menodai pakaian mereka. Mereka tidak menatapku, seolah aku tak terlihat. Mereka terus berjalan, seolah sedang mencari sesuatu.

Aku mencoba bersembunyi di balik semak-semak, jantungku berdegup kencang. Aku mengambil kameraku dan memotret mereka, berharap bisa mengabadikan momen ini. Namun, saat aku memotret, kilatan flash kameraku memantul, menyorot wajah salah satu dari mereka. Seorang anak kecil dengan boneka beruang lusuh di pelukannya. Wajahnya yang pucat tiba-tiba menoleh ke arahku.

Mata anak itu kosong, tapi tatapannya menusuk jiwaku. Ia mengulurkan tangan, seolah meminta pertolongan. Mulutnya bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, yang keluar hanyalah suara erangan pilu.

Aku berteriak dan lari sekencang-kencangnya. Aku tidak peduli ke mana kakiku melangkah. Aku hanya ingin keluar dari tempat mengerikan itu. Sampai aku sampai di rumah, aku tidak berhenti berlari. Aku memeriksa hasil fotoku, tapi tak ada satu pun yang berhasil. Hanya kegelapan dan kabut.

Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi meremehkan cerita-cerita tentang gerbang kereta api tua. Aku tahu, mereka tidak pergi. Mereka menanti. Menanti cerita mereka diceritakan. Menanti keadilan. Menanti kedatangan kereta terakhir yang akan membawa mereka pergi dengan tenang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misteri di Balik Pohon Beringin: Kisah yang Terlupakan

Tamu Tak Diundang: Mereka yang Datang Saat Tengah Malam