Tamu Tak Diundang: Mereka yang Datang Saat Tengah Malam
Malam hari selalu memiliki kisahnya sendiri. Namun, di rumah tua yang kuwarisi dari nenek, malam memiliki arti lain. Ia membawa 'mereka'. Tamu-tamu tak diundang yang datang tepat saat jam menunjukkan tengah malam. Mereka bukan pencuri, bukan juga orang gila. Mereka adalah entitas yang lebih tua dari rumah itu sendiri, entitas yang hanya ingin satu hal: ditemani.
Namaku Risa, seorang pekerja lepas yang sering menghabiskan malam sendirian di rumah ini. Rumah ini luas, dengan banyak sudut gelap dan suara-suara aneh dari angin yang berembus di sela-sela jendela. Awalnya, aku mengabaikan suara-suara itu. Mungkin hanya tikus, atau cabang pohon yang bergesekan dengan atap.
Semuanya berubah pada suatu malam, saat listrik padam total. Aku sedang membaca buku di ruang tamu, ditemani cahaya lilin. Jam dinding tua berdentang, menunjukkan pukul dua belas malam. Tepat saat dentangan terakhir menghilang, aku mendengar ketukan di pintu depan.
Tok... tok... tok...
Ketukan itu pelan, tapi jelas. Jantungku berdebar kencang. Siapa yang datang tengah malam begini? Aku mengintip dari lubang kunci, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan dan siluet pohon mangga tua di halaman.
Aku kembali ke sofa, mencoba menenangkan diri. Mungkin hanya halusinasi. Tapi, ketukan itu datang lagi. Kali ini lebih keras, lebih mendesak.
TOK! TOK! TOK!
Aku tidak berani membuka pintu. Aku mencoba mengabaikannya, tapi ketukan itu terus berlanjut, semakin cepat dan semakin keras, seolah ada yang tidak sabar di balik pintu. Aku bisa mendengar suara desisan di sela-sela ketukan, seperti seseorang sedang menahan napas.
Tiba-tiba, ketukan itu berhenti. Hening. Keheningan yang lebih menakutkan daripada suara ketukan itu sendiri. Aku menahan napas, menunggu. Lalu, aku mendengar suara. Suara itu berasal dari dalam rumah.
"Kenapa tidak kau buka pintunya, Risa?"
Suara itu terdengar seperti bisikan, sangat dekat di telingaku. Suara seorang wanita tua, serak dan dingin. Aku langsung menoleh, tapi tidak ada siapa-siapa di belakangku. Aku merinding. Bagaimana dia tahu namaku?
Aku bersembunyi di balik sofa, ketakutan. Lalu, aku melihatnya. Dari bawah celah pintu kamar tidurku, muncul sepasang kaki. Kaki pucat, dengan kuku hitam yang panjang. Kaki itu melangkah perlahan, semakin dekat ke arahku.
Aku menutup mataku rapat-rapat, berdoa agar semua ini hanya mimpi buruk. Tapi saat aku membuka mata, sosok itu sudah berdiri di depanku. Seorang wanita tua, dengan rambut putih acak-acakan, wajah keriput yang pucat, dan mata hitam kosong. Ia mengenakan gaun malam putih yang kotor dan compang-camping.
Ia tidak berteriak, tidak menyerang. Ia hanya tersenyum. Senyum lebar yang menunjukkan gigi-gigi kuningnya. Lalu ia berbisik lagi, suaranya sangat dekat, seolah napasnya menyentuh pipiku.
"Kami hanya ingin ditemani, Risa."
Aku pingsan.
Saat aku terbangun, matahari sudah bersinar cerah. Aku terbaring di sofa. Rumah itu sunyi, kembali normal. Tapi aku tahu, itu bukan mimpi. Aku melihat jejak kaki di lantai berdebu, jejak kaki yang mengarah ke pintu depan, lalu menghilang.
Sejak malam itu, setiap jam dua belas malam, aku selalu mendengar ketukan di pintu. Aku tidak pernah membukanya lagi. Aku tahu, mereka akan selalu datang. Tamu-tamu tak diundang yang hanya ingin ditemani. Dan aku, aku hanyalah sandera di rumahku sendiri, menunggu malam berikutnya tiba.
Komentar
Posting Komentar