Misteri di Balik Pohon Beringin: Kisah yang Terlupakan
Angin malam berbisik, membawa aroma tanah basah dan daun kering. Di ujung desa, sebuah pohon beringin tua menjulang. Batangnya yang besar penuh kerutan seperti kulit kakek yang sudah berumur, dengan akar gantungnya yang menjuntai seperti tirai tebal. Konon, tak ada yang berani mendekat setelah matahari terbenam. Bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu yang 'terlupa' di sana.
Namaku Rizal, seorang penulis yang skeptis. Aku datang ke desa ini untuk mencari inspirasi, menertawakan mitos-mitos yang beredar. Semua orang bilang, pohon beringin itu angker. Mereka menceritakan kisah-kisah seram, tertawa cekikikan dari balik dedaunan, bayangan hitam yang melintas cepat, bahkan sosok perempuan berbaju putih yang duduk diam di salah satu cabangnya. Aku hanya mendengarkan sambil tersenyum simpul. Bagiku, itu semua hanyalah bualan untuk menarik perhatian.
Suatu malam, rasa penasaranku mengalahkan akal sehat. Berbekal senter kecil, aku berjalan menuju pohon beringin itu. Malam itu, tidak ada bulan. Hanya suara jangkrik dan embusan angin yang menemani. Saat aku semakin dekat, udara terasa lebih dingin. Bau bunga melati yang menyengat tiba-tiba tercium, padahal tak ada satu pun pohon melati di sekitarnya. Aku menertawakan diriku sendiri. "Mungkin ada orang yang baru pulang dari acara pengajian," pikirku.
Namun, saat senterku menyorot batang pohon, aku melihat sebuah ukiran yang samar. Ukiran itu berbentuk wajah seorang perempuan dengan mata terpejam, seolah sedang tertidur. Ukiran itu sangat kuno, seolah sudah ada di sana selama berabad-abad. Aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.
Tiba-tiba, senterku mati. Gelap total. Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba menyalakannya lagi, tapi tidak berhasil. Di kegelapan yang pekat itu, aku mendengar bisikan. Bukan bisikan biasa, melainkan bisikan yang sangat dekat. "Kenapa kau datang?" Suara itu terdengar seperti suara anak-anak perempuan, tapi serak dan dingin. Aku membeku.
Aku berusaha mundur perlahan. Namun, saat kakiku melangkah, aku tersandung sesuatu. Aku menoleh ke bawah dan senterku yang mati itu tiba-tiba menyala kembali. Cahayanya menyorot ke sebuah makam tua. Batu nisan itu nyaris tak terbaca, ditutupi lumut dan dedaunan.
Aku menelan ludah. "Ternyata ada makam di sini," bisikku pada diri sendiri. Lalu mataku tertuju pada tulisan yang masih bisa dibaca di nisan itu: "Wati, 1945."
Bisikan kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan lebih banyak. "Kami hanya ingin dikenang..." "Kami hanya ingin cerita kami diceritakan..."
Tiba-tiba, dari balik makam itu, muncul tangan-tangan pucat. Tangan-tangan itu kurus dan panjang, dengan kuku hitam dan kotor. Perlahan, satu demi satu, muncul wajah-wajah pucat. Wajah-wajah itu adalah anak-anak yang matanya cekung dan hitam. Mereka berbaris di belakang makam, menatapku dengan tatapan kosong.
Aku berteriak dan lari sekencang-kencangnya. Aku tidak peduli ke mana kakiku melangkah. Aku hanya ingin keluar dari tempat mengerikan itu. Sampai aku tiba di rumah, aku tidak berhenti berlari.
Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi meremehkan cerita-cerita yang beredar. Aku tahu, pohon beringin itu bukanlah tempat hantu, melainkan penjaga sebuah memori yang terlupakan. Pohon itu adalah saksi bisu dari sebuah tragedi di masa lalu. Sebuah pembantaian yang menewaskan banyak orang, termasuk anak-anak. Nama-nama mereka hilang, cerita mereka terkubur, dan hanya pohon beringin itu yang tetap ada.
Komentar
Posting Komentar