Senyum Hantu: Kisah Horor yang Lebih Menakutkan dari Teriakannya
Aku selalu berpikir bahwa horor sejati terletak pada suara. Jeritan menusuk, lolongan pilu, atau bisikan menyeramkan di telinga. Tapi aku salah. Kesalahan terbesarku adalah menganggap suara sebagai puncak ketakutan. Aku baru menyadari, ada sesuatu yang jauh lebih dingin, lebih menusuk, dan lebih menghantui daripada teriakan apa pun: senyuman.
Namaku Dara, seorang mahasiswi seni yang baru pindah ke sebuah kontrakan tua dekat kampus. Kontrakan itu sebenarnya cukup nyaman, dengan jendela besar yang menghadap ke kebun belakang yang rimbun. Namun, ada satu hal aneh: sebuah lukisan potret wanita di dinding kamar tidurku. Lukisan itu bergaya klasik, dengan seorang wanita berambut hitam panjang mengenakan kebaya hijau tua. Yang paling menarik perhatianku adalah senyumnya. Senyum tipis yang misterius, seolah menyembunyikan ribuan rahasia.
Pemilik kontrakan bilang lukisan itu sudah ada sejak lama, peninggalan penghuni sebelumnya yang entah kemana. Awalnya aku tidak peduli, bahkan menganggapnya sebagai sentuhan artistik. Tapi, lama-kelamaan, senyum wanita di lukisan itu mulai terasa aneh.
Setiap pagi, saat aku bangun, aku merasa senyum itu sedikit berbeda. Kadang terasa lebih lebar, kadang lebih tipis, seolah-olah wanita itu sedang mengamati dan bereaksi terhadapku. Aku mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa itu hanya ilusi optik atau karena cahaya yang berubah.
Puncaknya terjadi pada suatu malam. Aku sedang tidur pulas, ketika tiba-tiba terbangun karena hawa dingin yang menusuk. Kamar gelap gulita. Saat mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, aku melihatnya. Di sudut kamar, di tempat lukisan itu seharusnya berada, sosok wanita itu berdiri.
Ia mengenakan kebaya hijau tua yang sama persis seperti di lukisan. Rambutnya terurai panjang menutupi sebagian wajahnya. Namun, yang paling membuat darahku membeku adalah senyumnya. Senyum itu bukan lagi senyum tipis yang misterius. Itu adalah senyum lebar, memamerkan deretan gigi yang terlalu putih, terlalu panjang, dan terlalu banyak untuk ukuran manusia. Matanya yang gelap menatap lurus ke arahku, tanpa berkedip. Tidak ada suara. Tidak ada teriakan. Hanya senyum itu.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak. Senyum itu semakin lebar, seolah ia menikmati ketakutanku. Perlahan, wanita itu mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya yang kurus.
Aku merasakan nyeri tajam di dadaku, seolah ada yang menusuk. Aku tidak tahu berapa lama aku terbaring di sana, antara sadar dan tidak, diselimuti teror senyum itu. Saat pagi tiba, cahaya matahari masuk ke kamar, dan sosok itu menghilang. Lukisan wanita itu kembali ke dinding, dengan senyum tipisnya yang misterius.
Namun, sejak malam itu, aku tahu. Senyum di lukisan itu bukanlah sekadar karya seni. Itu adalah portal. Sebuah undangan. Dan wanita itu, ia tidak berteriak karena ia tahu. Ia tahu bahwa senyumnya saja sudah cukup untuk mengunci ketakutan di dalam diriku. Senyumnya adalah janji akan kunjungan berikutnya, sebuah janji yang lebih menakutkan dari seribu teriakan. Aku pindah dari kontrakan itu seminggu kemudian, tapi senyum itu, senyum hantu itu, masih menghantuiku dalam setiap mimpiku.
Komentar
Posting Komentar